Thursday, September 17, 2015

Tentang Hati, Luka, dan Pengecualian

Kau terbangun terlalu pagi kali ini. Mendahului jam wekermu yang baru akan berdering 3 jam lagi. Kau melirik sekilas jam weker kesayanganmu, pemberian orang itu, di meja samping ranjangmu yang masih menunjukkan pukul 03.00 WIB dini hari. Lalu kau edarkan pandanganmu ke sekeliling ruang tidur dengan dekorasi pink dan hello kitty itu. Dalam temaram lampu tidur, yang juga pemberian orang itu, matamu terpaku pada bingkai foto di atas meja riasmu. Di dalam bingkai itu terekam bukti kebimbanganmu. Kertas foto yang lusuh, lecek, dan apalah itu istilahmu karena kau remas dan remuk saat kekecewaanmu memuncak, lalu kau rapikan lagi saat penyesalanmu mengetuk. Dan kini di hadapan bingkai itu tatapan matamu mulai kosong, semetara pikiranmu berkelana ke masa lalu.

********

Masih segar di ingatanmu semua keluhan, teriakan, makian, cacian, dan hinaan yang kerap diselingi suara-suara pecah. Kau pun tak tau sejak kapan kau merasa biasa terbangun demi mendengarkan pertengkaran antara ibumu dan orang itu. Nuranimu menjerit dan memohon agar keributan itu berhenti. Tapi kau sadar bahwa kau tak punya daya untuk melerai 'perang dunia' yang entah sudah ke-berapa.
Kecewa? Kau bilang tentu saja. Terlebih ketika orang itu, yang selalu ibumu tegaskan bahwa dia selamanya adalah ayahmu, memilih meninggalkan ibumu (dan kau) untuk pergi dengan yang lain. Orang itu, yang enggan kau akui darahnya mengalir di tubuhmu, selama ini menjadi cinta pertamamu dan kini menjadi orang yang membuatmu mati rasa.
Luka memang bisa membuatmu skeptis dan sinis akan cinta. Kau selalu menyalahkan orang itu, yang menjadikanmu benci pada ucapan manis dan kata-kata cinta dari makhluk yang disebut 'lelaki'. Kau belum tau, kau hanya belum bertemu dengan yang ibumu sebut 'pengecualian'.

********

Kumandang adzan yang sayup dari kejauhan menyadarkanmu. Membawamu kembali dari masa lalu. Kau pun beranjak perlahan dari ranjang nyamanmu dan melaksanakan kewajibanmu, berbincang dengan Tuhanmu. Menyesalkan serta mengeluhkan berbagai hal tapi tak lupa untuk meminta kebahagiaan bagi ibumu.
Namun akhir pekan indah yang lama kau rindu dipaksa musnah saat ibumu meminta kau hadir di perayaan ulang tahun adik (tiri)mu, yang selama 4 tahun ini kau bantah keberadaannya. Dan, tentu saja, kau menolak hadir. Kau tak pernah punya adik katamu.
"Maafkan, nak. Maafkanlah ayahmu. Menyimpan benci hanya akan merusakmu," entah sudah berapa kali ibumu meminta kau memaafkan orang itu. Kau sudah bebal, terlalu kecewa kau bilang. Tapi demi ibumu kau berjanji akan memaafkan orang itu, entah kapan.
Langit mendung saat kau memutuskan untuk berjalan keluar. Kau butuh menjernihkan pikiran, pamitmu pada ibumu. Ibumu tau bahwa kau sangat mengharapkan hujan dan hanya mengingatkanmu berhati-hati. Benar saja, belum sepuluh langkah kau pergi hujan mulai menitik. Gerimis yang menjadi deras. Kau tak peduli, terus menuju taman tempat kau biasa membuang sendu.
Setengah jam kau terduduk di bangku taman, merenung di bawah derasnya hujan. Tanpa kau sadari dia perlahan mendekatimu. Memayungimu, yang dia tau itu tak perlu, tapi tak berminat menyapamu. Dia yang tak pernah meninggalkanmu (selain ibumu yang selalu mendukungmu walau seisi dunia muak padamu) meski di saat terburukmu. Tentu saja dia bertanya pada ibumu saat tau kau tak ada di rumah dan tak pula menjawab telfonmu. Tak butuh waktu lama untuk menemukanmu di taman itu.
Saat kau sadar ada orang lain di dekatmu, kau temukan dia tersenyum di belakangmu. Dia, teman masa kecilmu yang ibumu harap jadi menantu, memegang lembut tanganmu. Mengajakmu ke mobil yang dia parkir tak jauh dari situ.
"Terlalu sering mandi hujan tak baik untuk kesehatanmu," membuatmu seperti diomeli seorang ibu.
"Kau sudah tau..." kau sengaja tak menyelesaikan kalimatmu.
"Ya, kau sangat suka hujan. Aku selalu tau itu. Tapi..." belum habis kalimat yang diutarakannya, kau potong dengan helaan napas yang panjang.
"Aku memang sesuka itu pada hujan. Saat hujan turun aku bisa menangis dan meluapkan seluruh emosiku, tanpa khawatir orang akan melihat air mataku,"
"Ya, tentu saja. Tapi aku lebih suka pelangi," kau mendengus.
"Pelangi? Ya, mereka indah memang. Tapi hanya sementara," dia tersenyum dan menatapmu lekat.
"Pelangi tak pernah sementara, Nami. Kau yang tak pernah tau bahwa aku selalu menemukan pelangi kesukaanku di sepasang bola matamu," lagi-lagi kau tersenyum sinis. Gombalan lelaki, pikirmu.
"Ah, lagi-lagi omong kosong. Kau tau, aku benci ucapan manis lelaki. Hanya di mulut saja," dia hanya tertawa. Bagaimana mungkin dia tak tau, bahkan setelah bertahun-tahun bersama sejak kalian masih kanak-kanak? Dia mengajakmu pulang. Mengingatkan pakaianmu yang basah kuyup. Tapi kau menolak dan tak peduli dengan ocehannya tentang bahaya mengenakan pakaian basah saat hujan. Pada akhirnya dia mengalah, seperti biasanya, dan memilih mengajakmu berkeliling mencari makan. Seperti yang kau harapkan.

********

Hari, minggu, bulan, bahkan tahun pun berganti. Usiamu bertambah, begitu pula kedewasaanmu. Kau sedikit banyak mulai memaafkan orang itu, meski tak seutuhnya. Kau sudah mau memanggil orang itu dengan sebutan yang seharusnya, Ayah. Tapi kau masih menutup hati. Luka itu tak pernah sembuh meski kau sudah memaafkan. Ibumu bilang jodohmu yang belum datang. Kau sendiri tak merasa dikejar waktu untuk segera membuka hati.
Tak banyak lelaki yang nekat mendekatimu. Nyaris tak ada. Dinding yang kau buat masih terlalu tebal untuk ditembus. Yang kau tak tau, ada satu lelaki yang masih setia menembus dinding itu. Ya, dia yang selama ini kau anggap teman itu sudah sejak dulu menaruh rasa khusus padamu. Bukan, kau bukan tak tau. Kau hanya menyangkal kebenaran itu. Kau hanya ingin menganggap semua perhatian darinya hanyalah simpati dari seseorang yang sama tersakiti.

********

Kini usiamu genap 28 tahun. Kau sudah sepenuhnya memaafkan ayahmu. Bahkan mengakui keberadaan ibu dan adik barumu. Waktu yang lama memang. Tapi berakhir bahagia, setidaknya ibumu 'pergi' setelah melihatmu berbaikan dengan ayahmu. Kau memilih tinggal sendiri di rumah ibumu, meski berkali-kali ayahmu mengajakmu untuk tinggal bersama keluarga barunya. Dengan lembut kau tolak ajakan ayahmu. Bukan karena kau benci dengan suasana baru, tapi memang kau ingin menikmati kesendirianmu.
Kau tau, kau tak sepenuhnya sendiri. Dia, teman masa kecilmu yang semakin tampan itu, nyaris setiap hari menemuimu. Di tengah kesibukannya, hanya untuk memastikan kau makan dengan baik. Pekerjaanmu yang tak mengharuskan kau keluar rumah sempurna menutup jalan lelaki yang ingin mendekatimu, selain dia.

********

Sabtu sore, tepat setahun setelah kepergian ibumu. Kau baru saja kembali setelah mengunjungi makam ibumu, ditemani dia. Kau dan dia berbincang sejenak di teras depan rumahmu.
"Kau tak kesepian? Tinggal sendiri di sini?" dia terdengar khawatir.
"Kesepian? Dengan kau yang hampir tiap hari mampir melihat keadaanku? Tidak mungkin aku kesepian,"
"Tapi, tetap saja kau..." kau segera memotong pembicaraannya. Mengalihkannya pada hal lain.
"Kau sendiri, kapan akan menikah? Aku dengar ibumu sudah tak sabar menimang cucu," kau sedikit menggodanya. Karena kau tau dia tak pernah dekat dengan wanita, selain dirimu.
"Aku masih menunggu..." dia tersenyum penuh arti. Entah mengapa senyumnya kali ini membuat jantungmu berdegup tak karuan.
"Menunggu apa? Bidadari jatuh dari langit? Hahaha..." kau tutupi kegugupanmu dengan tawa.
"Menunggumu, Nami. Menunggu luka hatimu terobati," tatapan matanya saat itu kau rasa seakan menghujammu.
"Ehem. Tapi...aku..."
"Tak apa, Nami. Mungkin kau tak sadar seberapa keras aku mencoba jadi 'pengecualian' yang kerap ibumu sebut, yang sampai kini kau tunggu," dia menggenggam perlahan tanganmu yang tiba-tiba terasa dingin.
"Steve...kau teman terbaikku, dan aku sangat berterima kasih atas hal itu. Tapi...'pengecualian' itu...entahlah. Aku..." dia tetap memasang senyum manisnya, menghela nafas, dan memutuskan untuk pulang. Memberimu waktu untuk berpikir.
"Aku pulang dulu, Nami. Aku tak ingin memaksamu, tak mungkin aku melakukan itu. Tapi aku mohon, kau pikirkan matang-matang. Minggu depan aku tunggu jawabanmu. Apapun itu," dia pamit pulang. Melambaikan tangan sembari masuk ke dalam mobilnya. Sementara kau masuk ke rumah setelah mengunci pagar.

Dia benar-benar membiarkanmu berpikir. Dia tak mengunjungimu bahkan mengabarimu. Sementara kau setiap malam memohon petunjuk pada Tuhanmu.
2 hari sebelum batas waktu yang dia minta tiba, kau sudah bulat dengan keputusanmu. Kau pun mengabari dia bahwa kau sudah punya jawaban yang dia tunggu.

Sabtu siang, tepat seminggu setelah dia mengungkapkan perasaannya padamu, kau dan dia kembali berbincang di teras depan rumahmu.
"Apa kabarmu? Berat sekali rasanya tak menghubungimu seminggu ini," untuk pertama kalinya kau menyadari teman kecilmu itu tumbuh dengan baik.
"Kabarku baik. Aku tau kau mencemaskanku. Jangan khawatir, aku tak akan mati semudah itu," kau mulai ngelantur. Terlihat sekali kau berusaha tetap tenang.
"Hahaha...ya ya ya, kau wanita yang kuat," dia usap kepalamu perlahan, "kau tak boleh mati dulu. Aku masih menunggumu, Nami."
"Aku...ah, kenapa tiba-tiba membahas kematian...bukan ini tujuan kita bertemu hari ini, 'kan?" kau menghela napas panjang. Mencoba menenangkan dirimu.
"Iya, Nami. Jadi...?" dia mengusap pelan punggung tanganmu. Berusaha membuatmu tenang. Kau terlihat gugup, tak seperti biasa.
"Mmh...Steve...Kita sudah berteman lebih dari 20 tahun. Sejak kita masih anak-anak. Dan apapun yang aku alami kau selalu ada di dekatku. Selama ini kau sudah seperti kakakku..." kau kembali menghela napas panjang, "Sebenarnya aku sering terpikir...mungkin kau lah 'pengecualian' itu, Steve... Tapi rasa takut dan kecewaku saat itu membuatku menepis semua pikiran itu..." kau lihat senyumnya. Senyum tulus yang dapat membius puluhan wanita di luar sana. "Dan setelah mendengarmu minggu lalu, Steve... Aku berhasil meyakinkan hatiku... Kau lah 'pengecualian' untukku..." kau pun tertunduk malu.
"Terima kasih, Nami. Setidaknya perjuanganku selama ini tak sia-sia. Aku yakin, kau akan sadar bahwa orang yang tepat bisa jadi ada di dekatmu," senyum yang menenangkan itu, kini sepenuhnya milikmu.

--------
Ketika kau masih belia, kau selalu memimpikan kisah cinta bak dongeng-dongeng pengantar tidurmu. Maka, kisahmu cukup diceritakan sampai di sini. Karena sejatinya hidup tak seindah dongeng, Nami.

No comments:

Post a Comment