Malam itu, Nuni pulang lebih larut dari semestinya. Ia langsung meringkuk di sudut kamarnya, mengumpulkan energi seperti layaknya yang biasa ia lakukan setelah berkeliaran terlalu lama di dunia luar. Namun malam itu berbeda. Malam itu Nuni merasa tak ingin lagi memaksa diri bertahan hidup. Malam itu Nuni memainkan pisau cutter yang selama ini disimpan Nuni di tempat persembunyian yang normalnya mudah ia lupakan. Malam itu Nuni mengukir penyesalan di pergelangan tangannya, dengan pisau cutter yang sudah lama ia asingkan dari pandangannya. Malam itu Nuni berharap semuanya berakhir. Semua, termasuk hidupnya.
*********
~Beberapa jam sebelumnya~
08.45 waktu setempat.
Ponsel kesayangan Nuni berdering nyaring, membangunkan Nuni yang masih mengarungi alam mimpi.
"Assalamualaikum, Nu. Sibuk? Ini aku, Reno." sapa suara di seberang sana.
"Waalaikumsalam, Ren. Ga sibuk kok. Ada apa ya?" Nuni menjawab sambil mengucek kedua matanya.
"Duh, aku jadi ga enak. Aku lagi di kotamu, baru aja mendarat. Ceritanya sih mau minta tolong temenin keliling," Reno, teman Nuni semasa kuliah -yang lebih tepat disebut mantan kekasih, mengutarakan tujuannya menghubungi Nuni pagi-pagi buta *versi Nuni.
"Lho? Emangnya kamu sendirian, Ren? Mau ku jemput di bandara?" Nuni bukannya masih ada rasa terhadap mantan kekasihnya itu. Tapi Nuni sudah menganggap Reno sebagai teman baiknya sendiri, dan Nuni akan berlaku sama pada teman-teman baiknya yang lain.
"Harusnya sih ga sendirian, tapi rekanku ada urusan lain jadi baru bisa nyusul nanti malam. Wah, kalo ditawarin gitu sih aku mau banget, Nu. Hahaha."
"Tapi tunggu ya. Aku belum ngapa-ngapain soalnya." Nuni langsung memutus pembicaraan setelah mendengar 'Oke' dari Reno.
-30 menit kemudian-
'Aku bawa mobil Ni**an Xtr**l, abu metalik. tunggu di pick up zone.' Nuni mengirim pesan singkat pada Reno saat mobil yang dikendarainya memasuki area bandara. Di terminal kedatangan, mobil hadiah ulang tahun dari orang tua Nuni melambat, matanya mencari-cari sosok Reno di antara penumpang yang tidak terlalu ramai itu. Di penghujung zona penjemputan tampak oleh Nuni, Reno yang sedikit melambaikan tangannya. Nuni perlahan menginjak rem, dan saat mobil Nuni berhenti sempurna Reno membuka pintu penumpang.
"Aku aja yang nyetir, gimana?" jiwa gentleman Reno mungin tidak rela membiarkan seorang lady menyetir untuknya.
"Kamu ga pa-pa? Ya udah..." Nuni memilih pindah ke bangku penumpang.
"Aku laper, Nu. Cari sarapan dulu yuk. I know you haven't eat breakfast."
"Yailah. Jelaslah. Aku kan baru bangun, Ren."
"Dasar kebo," dan mobil kesayangan Nuni melaju meninggalkan bandara.
Mereka akhirnya memutuskan berhenti di sebuah resto junkfood, meski sepanjang perjalanan Reno terus mengeluh tentang dietnya.
"Ya maaf deh, aku jarang liat sekitar kalo lagi jalan." sedikit banyak Nuni merasa bersalah.
"Ga apa-apa sih. Sekali-kali makan yang beginian," Reno membawa nampan berisi makanan pesanan mereka.
Mereka memilih tempat di pojok resto itu. Mau tak mau, suka tak suka, terlintas sedikit nostalgia di otak Nuni. Mereka duduk berhadapan, membuat Nuni leluasa memandangi Reno. Lelaki itu yang dulu pernah menjadi lelakinya, lelaki yang hingga kini masih menghuni sesudut tempat di hati Nuni.
Tidak berlama-lama mereka menghabiskan makanan mereka, karena Reno ingin segera ke hotel untuk meletakkan barang bawaannya.
----------------------
=13.00 waktu setempat=
"Duh, maaf ya, Nu. Aku kira udah di book sama orang kantor. Jadi kita muter-muter jauh nyari yang available," Reno melihat Nuni menguap berulang kali, mungkin karena bosan dan capek.
"Biasa aja kok. Santai aja. Yang penting kan sekarang udah dapet," masih sambil menguap Nuni melihat sekeliling lobby hotel. Designnya lumayan juga, bisik Nuni dalam hati.
"Yaudah, yuk naik. Kamu lurusin kaki bentar deh." Reno menarik tangan Nuni menuju elevator. Nuni ingin menolak, tapi karena Nuni dari tadi diam-diam kebelet akhirnya gadis itu menurut saja.
Duapuluh menit lebih dari cukup untuk Nuni melihat-lihat interior kamar yang akan diinapi Reno dan rekan kerjanya. Nuni juga sudah mencoba menggunakan toilet kamar tersebut, 'yah, lumayan deh untuk kelas segini' pikirnya. Nuni pun sudah berguling-guling di kasur, "Nyoba empuk atau engga nih kasur, Ren. Enak ternyata," testimoninya pada lelaki yang sedari tadi heran memperhatikannya.
Reno akhirnya beranjak dari duduknya, mengajak Nuni untuk mencari makan siang di salah satu pusat perbelanjaan besar di kota itu.
"Kamu suka ikan mentah? Something like sushi?" tanya Reno saat melihat salah satu resto makanan jepang di food court mall.
"Belum pernah coba sih. But it's okay, I wanna try eat that, sih," Nuni terdengar oke dengan pilihan Reno, toh dia tidak begitu lapar, pikirnya.
"Okay then. I'll order cooked one for you, Nu."
Lagi-lagi mereka memilih duduk di pojok, adem deket ac, kata Nuni. Sembari menunggu pesanan mereka mengobrol banyak seputar pekerjaan Reno, aktivitas harian Nuni, percintaan mereka masing-masing, hingga masalah psikis Nuni.
"Hahahaha, diwanti-wanti jangan beli sepatu lagi aku.." uajr Reno sembari membalas pesan di smartphone-nya.
"Sisil? Lagian kamu, belum ada seminggu beli sepatu udah berencana beli lagi," entah mengapa hati Nuni mencelos saat menyebut nama kekasih hati Reno. Wanita yang bagi Reno adalah rumah tempatnya berpulang. Wanita yang bagi Reno adalah belahan jiwanya yang lama hilang.
"Gimana lagi, Nu. Sesuka itu aku sama sepatu. Emang si oppa-mu itu ga punya hobby koleksi ya?" yang Reno maksud adalah Steve, kenalan Nuni yang half Korea half Amerika.
"Oh, Steve-oppa sukanya koleksi figurine. Aku juga ga terlalu ngerti apa enaknya. Tapi namanya hobby, masa ku larang-larang? Lagian figurine atau sepatu ini. Bukan koleksi cewek, kan." Nuni menanggapi seolah Steve adalah kekasihnya, padahal gebetan pun bukan. Dia dan Steve sebenarnya hanya teman diskusi, tapi entah mengapa Nuni berbohong seperti itu. Mungkin dia hanya tak ingin Reno tahu perasaannya yang sekarang.
Pesanan mereka akhirnya datang. Nuni hanya memakan beberapa potong sushi, kenyang alasannya. Saat menyeruput habis orange juice pesanannya, pandangan Nuni lekat pada Reno yang makan dengan lahap. Diam-diam Nuni mengambil beberapa gambar Reno dengan smartphone-nya. Entah mengapa saat itu Nuni merasa, hari itu akan jadi hari terakhir dia bisa melihat Reno, bersama Reno, berdua seperti kekasih.
Tiba-tiba Reno menatap Nuni tajam. Tatapan yang sebenarnya mengekspresikan pertanyaan Reno mengapa Nuni tidak lanjut makan pesanan mereka. Tapi bagi Nuni, untuk pertama kalinya dalam 4 tahun ini, tatapan mata Reno berhasil membuat jantungnya berdetak 5x lebih kencang dari detak normalnya. Nuni hanya menggeleng, kenyang bisiknya, sambil berharap mukanya tak memerah karena tatapan Reno fokus tertuju padanya.
"Kok aku masih laper, ya?" gumam Reno tepat setelah membayar pesanan makanan di kasir.
"Nanti kamu jajan roti aja lagi di ground floor, Ren."
"Dih, nanti aku gendut kaya kamu dong." ujar Reno bercanda sambil mengunyel-unyel kepala Nuni.
"Lupa masa lalu ya kamu? Eh ini jadi mau liat sepatu?" Nuni mengingat kembali bentuk tubuh Reno saat masih dengannya dulu. Jauh dari kata kurus bahkan ideal pun tidak.
"Jadi dong. Yuk!" Sebelum Reno menjawab, Nuni sudah lebih dulu berjalan ke arah Sport Station mall tersebut.
Nuni awalnya ikut berkeliling melihat-lihat bersama Reno. Namun akhirnya menyerah dan memilih duduk di salah satu bangku yang disediakan. Reno terlihat asik memilih sepatu, Nuni seakan melihat anak kecil yang girang pertama kali masuk ke toko mainan. 'Dasar, aku belanja aja ga gini2 banget muter milih-milihnya,' bisik Nuni dalam hati, dengan senyum simpul terukir di bibir manisnya.
"Akhirnya kamu duduk juga ya, Nu. Pake ikutan ngiter-ngiter segala, sih," Reno ikut duduk untuk mencoba dua ukuran sepatu yang ingin dibelinya.
"Ih, emang aku ga boleh liat-liat juga?" Nuni menjawab manyun. Tapi tetap memberikan jempol saat Reno bertanya apakah sepatu yang dicobanya terlihat cocok.
"Hehe, ya ga gitu juga, Nu. Aku ke kasir dulu terus kita langsung balik ke hotel ya," padahal tadinya Reno mengajak Nuni untuk menonton film.
"Nontonnya gimana?" Nuni sekadar memastikan Reno bukan melupakan rencana awalnya. Reno hanya menggeleng sambil berbisik 'males.'
=15.50 waktu setempat=
Nuni dan Reno sudah berada di dalam mobil milik Nuni, yang masih tetap dikendarai Reno. Mereka mengarah kembali menuju hotel yang diinapi Reno, namun Nuni memilih jalan yang agak memutar jauh karena Reno ingin mampir di minimarket yang franchise-nya berserak di seluruh negri.
Nuni menunggu di parkiran, malas turun katanya. Sepeninggalan Reno, Nuni berandai-andai kalau saja dia dan Reno sedewasa ini saat mereka masih bersama. Mungkin. Hanya mungkin, mereka masih jadi dua sejoli saat ini. Reno tak belanja banyak jajanan. Sepertinya khawatir Nuni terlalu lama menunggu sendirian.
"Mau langsung pulang, Nu?" Reno bertanya pada Nuni saat mereka memasuki parkiran hotel.
"Mampir dulu deh. Nebeng ke toilet bentar, hehe." Nuni sebenarnya ingin langsung pulang saja sebelum terlalu jauh terbawa perasaan, namun mulutnya berucap lain.
Akhirnya mereka berdua berjalan menuju kamar yang diinapi Reno, Nuni ikut membantu membawa beberapa belanjaan Reno yang terlihat ringan. Sesampainya di kamar, Nuni langsung menuju bathroom yang jadi satu dengan toilet sementara Reno mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih santai.
Agak lama Nuni melamun di depan wastafel untuk menenangkan jantungnya yang berdegub tidak karuan.
"Nu? Mau istirahat dulu di sini?" tanya Reno sembari menepuk pinggiran ranjang di samping yang dia duduki.
"Iya deh kayaknya, jam segini juga pasti rame di jalan pada bubar kantor," Nuni menghempaskan pantatnya ke pinggir ranjang, dan menggeser duduknya sedikit lebih mendekat ke Reno.
Mereka hanya diam, menonton siaran televisi yang disediakan pihak hotel. Nuni yang merasa mukanya bersemu merah diam-diam menolehkan kepalanya sedikit ke arah Reno, melihat wajah Reno dari samping. Tak disangka, Reno pun demikian. Dan tanpa sadar siapa yang memulai, jari mereka berdua mulai bertaut. Wajah Reno dan Nuni semakin mendekat. Saat Nuni memejamkan matanya, dia merasakan bibir Reno bertemu dengan bibirnya. Untuk pertama kalinya setelah 4 tahun ini, Nuni merasa jantungnya seakan melompat dan meledak.
Tidak terlalu lama Nuni dan Reno berpagutan, seakan tersadar Nuni menarik mundur tubuhnya menjauh dari Reno. Wajah Nuni kini sudah semerah kepiting rebus. Dia tak lagi sanggup melihat ke arah Reno. Sementara Reno sendiri menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Suasana canggung menyelimuti kamar itu, Reno dan Nuni semakin terdiam, hanya suara televisi yang memenuhi kamar itu.
Lama mereka menenangkan diri masing-masing, tanpa sadar matahari mulai terbenam. Senja kini telah berganti malam. Reno dan Nuni mulai berbicara hampir bersamaan. Reno mengalah, mempersilakan Nuni untuk berbicara lebih dulu.
"Emh. Udah jam segini...rekan kerjamu kapan mendarat, Ren?" masih terdengar getar di suara Nuni, menunjukkan Nuni belum sepenuhnya tenang.
"Delay katanya..." Reno berhenti sejenak, masih terlihat canggung, "Kamu mau pulang sekarang? Biar aku anter ke bawah..." Nuni hanya mengangguk pelan.
Saat Nuni beranjak ke arah pintu, tiba-tiba Reno mengagetkannya dengan sebuah kalimat yang seharusnya tak Nuni hiraukan. Kalimat yang menjadi trigger malam itu. Namun Nuni tak tahu dan berbalik melihat Reno yang membentangkan lebar tangannya.
"Ga mau....peluk dulu?" Reno tersenyum. Senyum yang selalu membuat jantung Nuni bekerja lebih keras. Dengan suara yang dulu membuat Nuni jatuh cinta pada Reno, dan kini suara itu juga yang membuat Nuni ragu namun tetap menghambur ke pelukan Reno.
Reno mendekap Nuni erat, mengelus lembut punggung Nuni. Sementara Nuni membenamkan wajahnya di dada Reno. Sejujurnya Nuni sangat ingin menangis saat itu, namun sebagai wanita dengan ego setinggi langit Nuni tahan tangisnya dengan menggigit bibirnya kuat. Ditambah lagi Reno berbisik lembut, dengan suara yang selalu membuat hati Nuni luluh.
"Nu...Kamu baik-baik ya...Jangan males nolongin ortumu...Baik-baik ya..." Nuni memberanikan diri melihat wajah Reno, sedikit mendongak, karena dagu Reno berada tepat seubun-ubun Nuni. Nuni hanya sanggup tersenyum mengiyakan omongan Reno.
"Terus, kalo bisa, ajak deh Steve oppa mu itu buat ketemu ortumu, Nu. Kalo dia ga mau, sudahi aja hubungan kalian. Toh mommy dan daddy-mu juga sudah punya daftar calon untukmu, coba ketemu saja dulu, ya?" Nuni mengangguk dan memeluk Reno kencang. Reno menyudahi pelukan mereka dan merangkul Nuni menuju elevator sambil berbisik lembut untuk terakhir kalinya, " Kamu baik-baik ya, Nu..."
Nuni hanya bisa terdiam saat Reno terus merangkulnya erat sampai di parkiran. Saat masuk mobil, Nuni segera menurunkan jendela mobilnya, membiarkan Reno bersandar di pintu mobil kesayang Nuni itu.
"Hati-hati nyetirnya, udah gelap. Jangan ngebut-ngebut ya. Jangan lupa mampir beli makan." Lagi, Reno dengan suaranya yang membius dan tatapannya yang menusuk-nusuk hati Nuni.
"Iya, iyaaa. Kamu bapak-bapak banget deh, Ren," Nuni setengah bercanda. Berharap hatinya tak lagi mengharapkan hal yang mustahil.
"Tauk nih. Aku dikira udah masuk 30an. Padahal kan baru mau 26." Reno terlihat sebal tapi tertawa. Melihatnya, Nuni pun ikut tertawa.
"Aku pulang ya, Ren..." ucap Nuni lirih. Reno tersenyum manis. Senyum terakhirnya untuk Nuni hari itu.
"Iyah. Hati-hati. Makasih." Reno melambaikan tangannya sambil memperhatikan mobil Nuni beranjak menjauh menuju rumahnya. Reno akhirnya masuk kembali menuju kamarnya setelah melihat mobil Nuni menghilang di tikungan.
Nuni menyetir dalam keadaan blank. Sangat berbahaya dan tidak untuk ditiru. Untungnya Nuni tidak menyebabkan kecelakaan sepanjang perjalanan. Otak Nuni belum bisa sempurna mencerna semua kejadian mulai dari telepon Reno pagi tadi. Bahkan Nuni setengah sadar memesan dua potong ayam goreng crispy di drive thru sebuah gerai ayam goreng tepung ternama di negrinya. Nuni sungguh tidak sadar kapan dan kenapa mobilnya bisa sampai ke sana. Selesai menerima pesanannya, dengan otak yang masih bekerja keras mencerna seluruh kejadian hari ini hingga pelukannya dengan Reno, Nuni memacu mobilnya pulang. Tentu saja Nuni sudah tidak dalam blank state lagi.
-------------------------
=19.55 waktu setempat=
Nuni menghempaskan badannya ke kasur kesayangannya. Malam itu Nuni pulang lebih larut dari biasanya. Ya, dengan kondisi matanya yang sulit menolerir cahaya lampu kendaraan yang berkeliaran saat malam, menyetir setelah matahari terbenam adalah pantangan besar bagi Nuni. Kalau saja hari itu keluarga Nuni tidak keluar kota meninggalkan Nuni seorang di rumah, Nuni pasti akan mendengar ceramah panjang dari daddy-nya selama minimal 2 jam ke depan.
Otak Nuni akhirnya berhasil mencerna seluruh kejadian hari itu. Tanpa sadar, Nuni mulai meneteskan air matanya. Kepalanya terasa sakit seakan ingin pecah tak sanggup lagi menahan teriakan-teriakan dalam kepalanya.
Nuni mengambil smartphone-nya, dan dengan cepat mengetikkan pesan untuk Reno.
Nuni meletakkan smartphone-nya di meja sisi ranjangnya. Nuni beranjak ke sudut kamarnya, mengumpulkan energi seperti biasa, namun kali ini juga untuk menenangkan otak dan pikirannya. Nuni memainkan pisau cutter yang selama ini disimpannya di
tempat persembunyian yang normalnya mudah ia lupakan. Nuni
mengukir penyesalan di pergelangan tangannya, dengan pisau cutter yang sudah lama ia asingkan dari pandangannya. Nuni berharap semuanya berakhir. Semua, termasuk hidupnya.
Nuni tak menghiraukan ponselnya yang sudah puluhan kali berdering sejak dia tak membalas pesan terakhir dari Reno. Karena Nuni, sedang asik melihat, menghitung tiap tetes darah yang mengalir dari luka di pergelangan tangannya. Dengan genangan darah di dekat tubuhnya, Nuni memejamkan matanya. Merasakan dingin yang perlahan menjalar dari kakinya yang mungil jika dibandingkan dengan badannya yang cukup berisi.
Nuni masih setengah sadar, meski badannya sudah lemah karena darah yang keluar sudah cukup banyak, saat ada orang yang membuka pintu belakang rumahnya dan mulai mengetok pintu kamarnya.
'Ah, aku lupa kunci pintu ternyata,' adalah hal terakhir yang Nuni pikirkan sesaat sebelum kesadarannya hilang.
Nuni tak tahu, yang menerjang masuk rumahnya, yang menggedor kencang pintu kamarnya yang tak terkunci, yang membopongnya ke mobil sambil menyambar kunci mobil Nuni yang tergeletak sembarangan di ranjangnya, dan yang terus berteriak panik meyakinkan Nuni masih bernyawa adalah Reno. Saat Nuni tak kunjung menjawab satupun panggilan telpon dari Reno, dia mulai mengingat-ingat cerita Nuni. Cerita tentang masalah psikis Nuni yang belum 100% stabil, cerita tentang Nuni yang tidak dianjurkan berhubungan emosi dengan lelaki, cerita tentang mantan kekasih Nuni 4 tahun yang lalu yang menjadi trigger kekacauan psikis Nuni. Reno langsung memesan layanan ojek online, bergegas menuju rumah Nuni yang dia ingat sekilas saat melewatinya dari bandara tadi pagi. Reno juga ingat, rumah Nuni bersebelahan dengan kerabat Nuni sendiri. Setelah mencoba menjelaskan dengan tergesa-gesa, Reno bisa masuk lewat pintu belakang rumah Nuni yang ternyata lupa gadis itu kunci.
************
=21.37 waktu setempat=
waiting room S group Hospital
Dengan cemas Reno menunggu dokter menangani Nuni. Senyum simpul dokter yang menangani Nuni menghapus sebagian kecemasan Reno, Nuni tidak dalam kondisi kritis meski kehilangan cukup banyak darah, dan kini cukup menunggu Nuni sadar setelah transfusi darah.
Malam itu Reno tidak menginap di hotel yang susah payah dia (dan Nuni) cari, rekan kerja Reno pun mengerti dan meminta Reno untuk kembali ke hotel besok saat mereka akan meninjau lapangan. Karena Reno perlu bertukar pakaian dengan pakaian dinasnya.
Malam itu Nuni diinapkan di kamar VIP, dengan fasilitas lengkap termasuk untuk penjaganya yaitu Reno. Seharusnya Reno beristirahat karena kondisi Nuni tidak perlu dikhawatirkan, tapi guilty feels yang pekat dia rasakan membuatnya menyesal. 'Kalau aja waktu itu aku ga cium dia. Kalau aja waktu itu aku ga peluk dia,,,kalau aja aku belum sama Sisil...' Pikiran-pikiran penuh sesalnya menyadarkan Reno, bahwa mungkin itulah yang membuat Nuni jadi seperti sekarang ini. Nuni menyesal. Reno menghela napas panjang, berdoa Nuni bisa sadar secepatnya, menyapanya dengan senyum manis yang dulu sangat dia suka.
=05.00 dini hari, waktu setempat=
VIP room S group Hospital
Berat hati Reno meninggalkan Nuni seorang diri. Mau tak mau dia harus segera kembali ke hotelnya untuk bersiap-siap. Dia tak mungkin melupakan tujuan perjalanannya ke kota itu adalah dinas kerja. Dengan secarik pesan yang dia letakkan di dekat Nuni, dan secarik pesan lagi yang dia titipkan pada perawat yang berjaga untuk segera menghubunginya saat Nuni sadar, Reno meninggalkan rumah sakit itu dan beranjak ke hotelnya.
=10.00 waktu setempat=
Sesungguhnya, cukup mengejutkan Nuni bisa sadar secepat itu. Jiwa Nuni memang lemah, tapi fisiknya tak kalah lemah. Dengan kehilangan darah sebanyak itu, Nuni baru diperkirakan sadar keesokan hari. Mungkin alam bawah sadar Nuni tahu, bahwa Reno yang menyelamatkannya hanya bisa berada di kota itu sampai besok pagi saja.
Reno yang mendapat kabar Nuni sudah sadar, bergegas menuju rumah sakit meski perkerjaannya belum rampung sempurna. Beruntung rekannya bersedia menangani sisa pekerjaan Reno dan malah menyuruh Reno bersegera menemui Nuni.
Reno duduk di samping ranjang Nuni. Dia menggenggam pelan tangan gadis itu, terasa agak dingin. Nuni hanya berbisik sekadarnya, 'Tensi aku lebih rendah dari normal. Kadang tanganku agak dingin dari orang lain.'
"Kamu ga perlu minta maaf, Ren..." ucap Nuni seakan bisa membaca pikiran Reno.
"Tapi, kalo aku ga....begitu...mungkin ga bakal begini jadinya, Nu..." Reno menghela napas, panjang.
"Kalo gitu, salah aku dong tetep. Yang nawarin jemput kamu dan ngeiyain permintaan kamu untuk nemenin seharian kemaren kan, aku." raut wajah Nuni kembali sedih.
"Ga, Nu. Kalo kamu ga pernah kenal aku, mungkin..." belum sudah Reno menyelesaikan kalimatnya, Nuni segera memotong.
"Kenal kamu atau engga, ga ada jaminan aku ga bakal kayak sekarang. Ga ada hubungannya, Ren." Nuni memaksakan senyum di wajah sedihnya itu.
"Maafin aku, Nu..." hampir Nuni menyela, Reno lebih cepat meneruskan kalimatnya, "Bukan, bukan untuk kondisi kamu sekarang. Maafin aku, aku cuma bisa temenin kamu sampe malam ini. Besok aku flight pagi, dinas."
"Iya, kamu udah cerita kemaren. Aku ga apa-apa kok. Kan ada dokter dan perawat di sini. Besok juga daddy ku pulang." dan entah kenapa perasaan Reno tak enak setelah mendengar Nuni berkata seperti itu.
Sesuai janjinya, hari itu Reno menemani Nuni setidaknya sampai Nuni tertidur malam. Reno memainkan game kesukaan Nuni, menggantikan gadis itu menyelesaikan quest yang tak sanggup dia selesaikan sendiri. Bercerita mengingat kejadian lucu saat mereka masih kuliah di kampus yang sama. Menghitung teman-teman mereka yang akhirnya menikah dengan orang yang tak mereka sangka.
Malam pun tiba, Reno melihat Nuni yang baru terlelap. Reno tak tahu jika Nuni berpura-pura tertidur, karena Nuni tahu Reno juga butuh istirahat untuk perjalanan esok hari. Reno berbisik pelan, pamit pada Nuni lalu, entah sengaja atau tidak, mengecup kening gadis tembem yang (berpura-pura) lelap itu.
Sepeninggalan Reno, Nuni beranjak bangun dari kepura-puraannya. Dia mengambil pisau yang tersembunyi di bawah ranjangnya. Tidak ada yang tahu dari mana asalnya pisau tersebut. Nuni menuju kamar mandi yang ada di dalam ruangan inapnya.
Tidak ada yang tahu bahwa sejak malam itu, hari pertama dia bertemu lagi dengan Reno, Nuni telah membulatkan tekadnya. Dia tak ingin lagi di dunia.
Dan malam itu, hari kedua dia bersama Reno, Nuni mengiris pergelangan tangannya yang lain. Malam itu benar menjadi malam terakhir Nuni bertemu Reno dan Reno benar menjadi yang terakhir di hatinya.